Dua puluh dua, dua puluh satu, dua puluh, sembilan belas, delapan belas..
Pelan-pelan benakku menghitung mundur, memperkirakan waktu alarm pagi yang sesungguhnya selalu lebih terlambat berbunyi dibandingkan pikiran-pikiranku yang tidak pernah berhenti.
Pagi ini lebih istimewa, karena pikiranku tidak berhenti berbunyi sejak kemarin malam. Membuat badanku yang kelelahan hanya bisa menyerah dan berbaring semalaman, memandang dinding kamar yang gelap dan dingin. Bahkan untuk menarik selimut pun rasanya berat sekali.
Kurasakan kedua kakiku yang kedinginan dan kedua mataku yang kering dan pedih karena aku lupa memejamkannya. Entah sudah berapa lama.
Aku juga lupa kapan aku berhenti berhitung mundur, tapi tiba-tiba pikiranku dikagetkan oleh bunyi nyaring alarm-alarmku. Semua berbunyi serentak. Alarm dari jam yang berdiri di meja di kamarku, dan juga alarm-alarm dari kedua telepon selular yang sengaja kusimpan di samping tempat tidur.
Aku biarkan mereka berbunyi sesaat. Teriakan mereka yang memekakan telinga seolah-olah memberikan hukuman kepada pikiran-pikiranku yang menolak berhenti dan telah menyiksaku semalaman.
Kalian bukanlah hal yang paling nyaring disini. Redam egomu dan berhentilah bersuara…
Geramku, dalam hati, membuatku menyadari, hati dan pikiranku tidaklah satu.
Namun pikiran-pikiranku tidaklah bodoh.. Tidak sama sekali… Mereka sukses menguasai jiwaku karena kepandaian bermanipulasi dan bermain dengan realita. Mereka akan mengambil setiap kesempatan untuk menyiksa jiwaku lebih lanjut kapanpun mereka mendapatkannya.
Pikiran-pikiranku sendiri mengkhianatiku! Apakah ada rasa yang lebih terasing dari ini?
Salah satu dari mereka berteriak: HENTIKAN!
Adalah KODRATMU untuk mencicipi segala rasa yang ada di dunia! Termasuk pikiran-pikiran yang tak kunjung berhenti ini.
Dan adalah SALAHMU hingga pikiran-pikiran ini muncul. Mereka tidak akan hadir andai saja jiwamu terlahir sempurna, tanpa cela.
Dan adalah KEWAJIBANMU untuk tetap berfungsi dengan baik bagaimanapun kamu memulai pagimu. Apakah kamu ingin menjadi lebih hina dari jiwamu yang sekarang pun sudah tidak berharga?
Kamu TIDAK BERHAK untuk berhenti sesaat dan bermanja-manja.
Dengan segala energi yang masih kumiliki, kupejamkan mataku dan kubiarkan beberapa tetes air mata mengalir. Membuatku sedikit tertegun dan bertanya-tanya, apakah yang baru saja kutangisi ini? Apakah aku menangisi apa yang diteriakan pikiran-pikiranku semalaman? Atau apakah aku menangisi lelahnya jiwaku yang harus selalu berkemelut dengan pikiran-pikiranku? Entahlah.
Kugubris pertanyaan itu dan kupaksakan diri untuk membuka mata dan meraih sumber-sumber alarm yang memekakan telinga. Kumatikan semuanya.
Hening.
Namun damai itu belum ada.
Kupukul dadaku berkali-kali. Sekeras-kerasnya. Seperti ada yang salah disana. Seperti ada yang tersumbat dan hanya pukulan keras bisa membuatnya terbuka kembali. Tapi kali ini, pukulan sekeras apapun tidak membantu.
Tapi aku tidak bisa berhenti.
Sambil berharap rasa berat ini cepat hilang, kulangkahkan kaki ke kamar mandi. Tidak ada yang spesial. Aku harus menjalani rutinitas dan kewajiban-kewajibanku.
Dengan setiap langkah kulalui, kukumpulkan potongan-potongan diri yang berserakan seperti potongan-potongan puzzle di lantai.
Kutatap wajah lelahku di cermin, sambil merapikan rambut berantakanku aku berbisik,
“kamu bisa”.
#30DWC #30DWCJilid25 #Day1
Categories: 30DWC
dewimayangsari
Hello - I love writing random stuff from fiction to mental health to relationship to productivity to travel stories. Hope you can enjoy my writings! :)
Leave a Reply