Perrnahkah kamu merasa sangat gugup sampai seluruh badanmu gemetaran? Nafasmu pendek, dadamu sesak dan mukamu terasa sangat panas dan hampir ingin menangis?
Waktu itu aku tidak pernah merasakan kegugupan seperti itu.
Aku pernah merasa gugup. Kegugupan terparah yang aku rasakan sebelum ini adalah ketika aku harus wawancara pekerjaan impian pertama dulu. Juga wawancara beasiswa-beasiswa yang sangat kuinginkan.
Tentu saja aku gugup waktu itu… Wawancara-wawancara ini penentu apakah aku dapat mencapai mimpi-mimpiku. Tapi itupun tingkat kegugupannya mungkin hanya 10 persen dari yang aku rasakan sekarang.
24 tahun. Belum pernah punya pacar. Belum pernah jatuh cinta. Biasa hidup mandiri. Biasa hidup sendiri. Itulah aku.
Sampai aku bertemu dia.
Ya, dia yang ada di pikiranku 6 bulan terakhir ini. Dia yang kutunggu di warung kopi ini sekarang. Dia yang membuatku gugup setengah mati.
Ya Tuhan, apa yang kupikirkan? Hentikan aku sekarang…
Kulihat sekelilingku. Warung kopi yang luas ini terasa sesak dengan banyaknya orang. Segera kusesali keputusanku untuk mengajak bertemu dia di warung kopi ini. Meskipun berdasarkan hasil risetku, dia pecinta berat kopi luwak, dan disinilah kopi luwak yang paling lezat dapat ditemukan di kota ini.
Beberapa orang yang baru datang menatap kursi kosong di hadapanku, seolah ingin mengusir lamunanku dan kopi hitam panas di tanganku. Tapi aku tidak ingin menyerah, kursi ini kusimpan untuk dia. Kualihkan pandanganku dan kurapikan blouse putihku yang sebenarnya sudah sangat rapi.
Seharusnya kamu pergi saja dari tempat itu..
Tapi hati ini tidak mengizinkannya.
Aku malah tetap duduk disana, menunggunya.
Kucoba untuk mengalihkan pikiranku dan mengambil make up di dalam tas. Kupandangi diriku dengan rambut dan riasan yang nyaris sempurna.
Namun apakah blouse putihku terlihat membosankan? Beruntung aku menemukan scarf kesayanganku di dalam tas. Kukenakan baik-baik dan memeriksa kembali penampilanku di cermin kecil yang kubawa di dalam tas.
Sempurna.
Tapi tetap gugupku tak kunjung pergi.
Pukul 4.10, dan dia belum hadir juga. Haruskah aku pergi sekarang? Mungkin dia tidak akan datang.
Lagi pula, apa sih yang kamu harapkan dari laki-laki seperti itu?.. batinku mendesah.
Kenapa kamu ingin sekali bertemu dengan dia.
Berbincang dengannya.
Memeluknya.
Mengenalnya lebih dekat?
Ya, karisma dan kebaikan hatinya membuat dia disayangi semua orang di sekitarnya. Tapi apakah dia memperlakukanmu dengan cukup baik?
Baru kusadari ternyata orang baik tidak selalu baik untukmu.
Tapi aku tetap saja ingin dia ada di dalam hidupku. Bukan karena aku haus kasih sayang, bukan karena aku kesepian. Tapi karena aku menginginkan dia, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, untuk selalu ada di hidupku.
Lima menit berlalu dan dia masih belum datang juga.
Air mata hangat mulai menetes di pipiku.
Dia tidak menginginkanmu. Pikirmu kenapa dia baru hadir enam bulan lalu di hidupmu? Kemana saja dia selama ini? Baginya, kamu bukanlah siapa-siapa. Bukan apa-apa. Tidak penting, tidak signifikan, tidak berhak atas waktunya yang berharga.
Pikiran-pikiranku kembali menghantuiku.
Kulangkahkan kaki keluar dari warung kopi yang sesak itu. Hatiku hancur. Aku bahkan tak peduli lagi dengan riasanku yang sudah tak sempurna karena air mata.
Saat itu lah aku mendengar suaranya, suara yang kurindukan. Suara penuh semangat yang hanya ada di hayalanku sampai dengan enam bulan lalu.
“Adya!”
Dengan senyuman termanisnya dia menghampiri dan memelukku. Pelukannya terasa sangat hangat… Tidak pernah aku merasa nyaman dan aman seperti ini.
Di pelukan Ayahku, aku bertekad. Apapun yang telah dia lakukan dulu, dia adalah Ayahku. Dan aku tidak berencana melepaskan pelukan hangat Ayah sampai kapanpun juga.
#30DWC #30DWCJilid25 #Day2
Categories: 30DWC
dewimayangsari
Hello - I love writing random stuff from fiction to mental health to relationship to productivity to travel stories. Hope you can enjoy my writings! :)
Leave a Reply