Menu Home

Adrian

Aku sudah bersama orang lain sekarang”.

Satu kalimat mengejutkan itu terus terngiang-ngiang di kepala Norine.

Bagaimana maksudnya? Apakah maksudmu selama ini perasaanku tidak berbalas? Apakah maksudmu kebaikanmu selama ini tidak berarti apa-apa?”, bisik Norine. Dalam hati. Tidak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya. Tubuhnya lesu. Tenggorokannya tercekat. Jantungnya berdegup kencang.

Sepuluh menit yang lalu Norine menyatakan cintanya kepada Adrian. Setengah dari dirinya tahu, mungkin sebenarnya cintanya tidak berbalas. Tapi dia tetap mengambil risiko dan mengajak Adrian bertemu.

Di sudut cafe tempat mereka biasa menikmati obrolan santai setiap hari, Adrian sudah menunggu sore itu. Dengan kemeja terbaiknya.. dan senyum manisnya yang membuat Norine jatuh hati sejak pandangan pertama.

Ya, Adrian selalu memberikan penampilan terbaik ketika dia bertemu dengan Norine. Dia selalu memberikan senyumannya yang termanis, pelukan terhangat, dan ekspresi bahagia yang tak terhingga setiap kali bertemu Norine.

Pernah suatu ketika Norine seperti biasa berjalan tanpa arah di suatu pasar seni favoritnya. Kepalanya sibuk dipenuhi dengan penilaiannya atas karya-karya seni yang seringkali dianggap murahan untuk sebagian besar orang. Tapi tidak untuk Norine. Norine menikmati detail dari setiap karya seni, memperkirakan (atau bahkan membuat teorinya sendiri) tentang bagaimana karya tersebut dibuat, dan melihat karya tersebut dari sudut yang orang lain acuhkan. Sering kali Norine melihat ketidaksempurnaan sebagai suatu cerita yang membuat suatu karya bahkan lebih berharga.

Ketika itulah tiba-tiba Norine mendengar teriakan Adrian dari kejauhan.

“NORINE!”, panggil Adrian.

Norine pun menoleh dan mendapatkan pria pujaan hatinya itu berlari ke arahnya. Ekspresinya menunjukkan rasa bahagia bisa bertemu Norine tanpa sengaja di pasar seni itu.

“Norine! Aku tidak menyangka kamu juga ada disini! Sama siapa kamu disini? Mari kita melihat-lihat tempat ini bersama-sama! Ada yang ingin kutunjukan kepadamu!”, ajak Adrian dengan sangat antusias.

Norine masih ingat bagaimana Adrian tidak pernah melepaskan genggaman tangannya sekalipun. Melindungi Norine dari kerumunan orang. Mengajaknya ke tempat-tempat tersembunyi dimana karya-karya seni istimewa tersimpan. Bahkan Adrian pun memberikan kejutan dengan meminta seorang pelukis membuat sketsa Norine secara diam-diam.

Norine merasa spesial.

Belum lagi dengan segala perhatian yang dihujankan Adrian kepadanya. Serta dukungannya atas segala impian-impian Norine, bahkan yang paling sederhana sekalipun. Seperti suatu kebahagiaan bagi Adrian untuk membantu mewujudkannya.

Norine merasa disayangi.

Namun, Adrian tidak pernah menyatakan cinta kepada Norine. Meskipun dia pernah menyatakan bahwa dia menyayangi Norine dan Norine sangat berharga untuknya. Itu pun hanya sepintas. Tapi tindakan-tindakannya bergaung lebih nyaring dari pernyataan sepintasnya itu. Adrian membuat Norine sangat bahagia. Tapi itu tidak cukup.

Norine butuh kepastian..

Bukan, bukan kepastian atas status yang Norine inginkan. Norine tidak perlu deklarasi bahwa mereka lebih dari sekedar teman dekat. Norine hanya ingin memberikan kepastian atas perasaannya terhadap Adrian, dan apakah Adrian sebenarnya merasakan hal yang sama..

Status.. sepertinya jauh dari jangkauan harapan Norine.. Dengan perbedaan agama dan budaya, Norine menyadari tidak ada akhir yang bahagia untuk mereka berdua. Meski mungkin ini pertama kalinya Norine merasakan jatuh cinta, dan Norine tidak yakin apakah dia dapat merasakannya lagi bersama orang lain.

“Norine..”

Adrian membangunkan Norine dari lamunannya. Dia membawa secangkir teh hijau peppermint, favorit Norine, dan memberikannya untuk Norine.

Norine tertunduk. Malu. Sedih. Kecewa. Segala rasa tercampur aduk.

Adrian, dengan kesempurnaannya di mata Norine, dan jiwanya yang lembut dan menenangkan bagai malaikat pelindung untuk Norine, menggenggam tangan Norine erat-erat.

“Maafkan aku..” lirih Adrian.

Norine tidak merasa lebih baik. Dia tidak merasa marah kepada Adrian, apalagi benci. Adrian berhak bersama siapapun yang dia inginkan, meski itu bukan Norine. Tapi hal ini menghancurkan hati Norine sampai berkeping-keping.. Ingin rasanya Norine menangis saja sekencang-kencangnya di sudut cafe itu. Tapi tidak ada air mata yang keluar setetes pun.

“Norine..” bisik Adrian lagi.

“Lihat keluar” sambil menunjuk jendela, Adrian menunjuk bunga-bunga mawar di samping cafe yang bermekaran sangat indah.

“Dunia ini indah ya. Hari ini sangat indah” bisik Adrian lagi.

Norine melihat keluar dan menatap mawar-mawar itu lagi. Sangat indah memang. Dengan langit yang sangat cerah dan kebiruan, dihiasi awan-awan yang membuat langit sore itu sungguh sempurna. Seperti suatu lukisan yang pernah Norine nikmati berjam-jam di pasar seni.

Dunia sore itu memang terlihat sangat indah, terasa sangat sempurna, jauh lebih nyaman dari biasanya.

Saat itu juga Norine tahu, bahwa Tuhan sedang menghibur hatinya yang luka.

Kesadaran ini membuat hati Norine melunak, melembut dan menjadi hangat kembali. Ditatapnya lelaki di hadapannya. Lelaki pertama yang sangat Norine cintai. Lelaki pertama yang tidak bisa Norine miliki. Tangannya masih menggenggam kedua tangan Norine. Saat itu juga, dengan cara yang Norine tidak bisa pahami, Norine bisa merasakan koneksi yang dalam dengan jiwa lelaki di hadapannya.

Saat itu juga Norine tahu semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya.

“Ini jalan yang terbaik”, simpul Norine sambil tersenyum lega.

#30DWC #30DWCJilid25 #Day3

Categories: 30DWC

Tagged as:

dewimayangsari

Hello - I love writing random stuff from fiction to mental health to relationship to productivity to travel stories. Hope you can enjoy my writings! :)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: