Menu Home

Sabina

“Prang!”

Suara pecahan piring mengagetkan si kecil Sabina yang sedang asyik bermain boneka. Seketika Sabina berhenti dari permainannya dan memeluk Boni, boneka beruang kutub yang baru diberikan oleh Kak Danisa.

“Beruang kutub itu survivor. Artinya, mereka bisa bertahan hidup dalam kondisi apapun. Mereka bisa hidup di atas lapisan es atau perbukitan Arctic yang sangat dingin dan tanpa kehidupan lain. Mereka bisa berhari-hari hidup tanpa makanan. Dan yang paling penting, mereka bisa hidup sendiri dan hanya mengandalkan diri sendiri untuk bertahan hidup.”

Kata-kata Kak Danisa itu terngiang-ngiang di pikiran Sabina. Kak Danisa, yang tidak memiliki hubungan kerabat apapun dengan Sabina dan hanya pernah bertemu beberapa kali, namun bisa dibilang satu dari sangat sedikit orang yang peduli dengan Sabina. Bahkan Tante Lina dan Om Gani, om dan tante Kak Danisa, tetangga depan rumah Sabina, sudah tidak peduli lagi dengan Sabina.

Dulu Tante Lina dan Om Gani baik sekali dengan Sabina, suka memanggil Sabina untuk bermain di rumah mereka untuk “tea time” dan memberikan makanan dan kue-kue yang enak sekali untuk Sabina. Mereka bahkan membelikan mainan-mainan untuk dimainkan Sabina di rumah mereka!

Sabina sangat senang sekali waktu itu. Setiap tea time dengan Tante Lina dan Om Gani menjadi penyemangat hari-hari Sabina. Si kecil Sabina tidak pernah lagi menangis setiap kali orang tuanya kembali bertengkar atau setiap kali orang tuanya memukuli tubuh kecilnya.

Di usia 8 tahun, Sabina belajar bertahan hidup. Dia tahu tubuh kecilnya tidak akan bisa membantu Sabina dalam melawan orang tuanya. Sabina hanya bisa menerima dan berusaha membuat orang tuanya selalu bahagia agar tidak ada alasan untuk memukul anaknya sendiri.

Tapi Sabina tidak menyadari kalau orang tuanya tidak pernah memerlukan alasan untuk melampiaskan emosi dengan memukuli anak satu-satu mereka itu.

Saat itu Sabina selalu bergumam dalam hati “Tidak apa-apa. Habis ini kan tea time sama Tante Lina dan Om Gani.”

Itulah yang dipikir Sabina setiap kali Ayahnya mulai menendanginya tanpa sebab atau Ibunya menampar dan mencakar wajah mungil Sabina dengan kuku-kukunya yang panjang. Tentu saja, senyum Sabina dan penerimaannya atas setiap pukulan tanpa tangis dan permohonan untuk berhenti malah membuat Sabina dipukuli lebih-lebih lagi.

Pada akhirnya, semua itu berakhir ketika orang tua Sabina mengetahui apa yang terjadi dengan tea time. Ibu berteriak histeris di telinga Sabina. Mengutuk Tante Lina dan Om Gani yang “sok tahu”, “ikut campur urusan orang lain” dan “pathetic”. Sabina tidak paham apa maksud Ibu. Tapi itu membuat Ayah ikut marah besar dan mendatangi rumah Tante Lina dan Om Gani saat itu juga. Saat itu Om Gani belum pulang kantor, hanya ada Tante Lina yang dapat ditemui dan dimaki-maki oleh Ayah.

Sabina memberanikan diri untuk mengintip dari jendela kamarnya ketika Ayah memaki-maki Tante Lina dan mengatakan “mandul”, “urus saja urusanmu sendiri”, “terserah aku mau aku apakan anakku”, yang dibalas dengan Tante Lina dengan teriakan-teriakan yang tidak dapat Sabina dengar dengan jelas. Namun sepertinya Tante Lina menangis di antara teriakan-teriakannya.

Tetangga-tetangga lain mencoba melerai namun Ayah tetap saja menyerang Tante Lina. Ayah bahkan mengambil pot kecil di halaman rumah Tante Lina dan melemparkannya ke wajah satu-satunya wanita yang selalu baik kepada Sabina saat itu.

Darah mengalir dari kepala Tante Lina ketika mobil Om Gani merapat di depan rumah mereka. Om Gani yang memiliki sifat sangat berbeda dengan Ayah. Selalu tenang, lembut dan tidak pernah terlihat kesal apalagi melemparkan barang-barang seperti Ayah. Tapi saat itu Sabina bisa melihat Om Gani sangat marah. Tapi dia tidak berkata apa-apa. Hanya memeluk Tante Lina dan membawanya ke mobilnya. Mungkin dia membawa Tante Lina ke UGD, pikir Sabina. Seperti Ibu yang suka membawa Sabina ke UGD kalau Sabina pingsan atau kepalanya berdarah sangat banyak. Tante Lina akan senang sekali dirawat oleh perawat-perawat dan dokter-dokter yang baik hati di sana, pikir Sabina.

Sejak saat itu Tante Lina dan Om Gani tidak pernah mengajak Sabina untuk tea time lagi. Sabina juga takut sekali untuk keluar rumah, bahkan sekolah. Apalagi ketika Om Gani melaporkan Ayah ke polisi dan akhirnya Ayah jadi harus bolak balik ke pengadilan. Sepertinya Ayah harus meyakinkan seorang laki-laki yang bernama Bapak Hakim bahwa dia tidak bersalah. Sabina pernah mendengarnya berbicara dengan Ibu, mereka merencanakan apa yang harus dikatakan kepada Bapak Hakim agar dia percaya kepada Ayah. Sabina tahu mereka akan berhasil. Karena orang tua Sabina ini, selain punya 1001 cara untuk menyiksa Sabina, mereka juga punya 1001 cara untuk berpura-pura. Bahkan orang-orang baik yang sering Sabina temui di UGD berpikir kalau Sabina adalah anak nakal yang sering jatuh dari tangga dan bermain dengan kucing liar sehingga sering terluka dan kembali lagi ke UGD.

Namun pada suatu hari, Kak Danisa muncul. Keponakan Tante Lina dan Om Gani yang sekali-kali datang berkunjung ini terkadang bertemu dengan Sabina di jalan ketika Sabina berjalan menuju sekolah.

Seperti biasa, Sabina selalu menunduk ketika berjalan. Sabina sangat malu dan takut untuk melihat muka orang, apalagi orang asing. Selain itu, Sabina sering berhayal, kadang sambil berjalan menunduk, yang akhirnya membuatnya sering jatuh ke parit atau menabrak orang di hadapannya.

Ya, Sabina sangat suka sekali berhayal. Dalam hayalannya kadang Sabina menjadi putri yang dimanja kedua orang tuanya, atau kadang dia menjadi ikan yang bebas berenang kemanapun dia pergi. Hayalan Sabina seringkali berbeda-beda setiap kalinya, dan bagi Sabina, terkadang hayalan-hayalan itu lebih nyata daripada dunia yang dia harus hadapi setiap hari.

Suatu hari, Kak Danisa bertemu dengan Sabina lagi di jalan. Dia sengaja berdiri di depan Sabina yang sedang berjalan menunduk, sehingga Sabina menabraknya. Sabina kaget sekali dan langsung mundur karena takut orang yang ditabraknya akan memukulnya. Alih-alih memukul Kak Danisa malah memeluknya dan meminta maaf.

“Aduh, Sabina kaget ya? Maaf ya, Kakak cuma becanda.”

Sabina tersenyum melihat sosok di hadapannya adalah Kak Danisa. Dengan riang Sabina pun menerima uluran tangan Kak Danisa yang mengajaknya untuk membeli es krim.

Sabina tidak pernah memakan es krim sebelumnya. Ketika es krim rasa durian itu sampai di mulut mungil Sabina, Sabina tertawa sangat lebar. Es krim adalah makanan yang sangat lezat sekali.. Seperti surga. pikir Sabina. Dia pun berhayal tinggal di kerajaan yang terbuat dari es krim dimana dia bisa memakan es krim kapanpun dia mau. Ibunya tidak akan bisa mengunci kulkas dan lemari makanan lagi dan membuat Sabina kelaparan semalaman.

Kak Danisa kemudian menyodorkan boneka beruang putih kecil yang lucu sekali.

“Nih, buat jadi temannya Sabina.”

Kak Danisa pun menceritakan bahwa beruang putih itu adalah beruang kutub. Kemudian dia menjelaskan sifat beruang kutub yang bisa bertahan hidup dalam kondisi apapun.

Sabina menamakannya Boni, dan Sabina memeluk erat-erat Boni sekarang.

Teriakan Ayah dan Ibu lebih kencang lagi sekarang. Sabina juga mendengar lebih banyak lagi suara-suara barang dilemparkan.

Dengan langkah ragu-ragu dan badan gemetaran ketakutan, Sabina mengintip keluar.

Ibu mengejar-ngejar Ayah dengan potongan botol tajam yang baru dia pecahkan!

Sabina sangat takut sekali dan menutup kamarnya.  

Sabina pun teringat beruang kutub yang selalu bisa bertahan hidup. Sabina pun harus cerdas dalam hal ini, meski dia sangat takut Ayah atau Ibunya sebentar lagi akan memukuli badannya yang masih sakit-sakit dari tendangan-tendangan Ayah kemarin dan pukulan-pukulan Ibu dengan menggunakan sapu lidi pagi ini.

Sabina pun berlari kecil menuju kolong tempat tidurnya dengan membawa Boni. Dia sembunyi disitu sambil memejamkan mata, memegang Boni erat-erat, sampai hayalannya membuat Sabina tidak bisa mendengar apa-apa lagi.

Dalam hayalannya, Sabina terbangun di atas ranjang yang lembut sekali, yang terbuat dari awan dan gula-gula, dan dengan tiang-tiang terbuat dari es krim. Sabina menjulurkan lidahnya dan mulai memakan es krim.

Kak Danisa ada disitu bersama Boni, yang menjadi hidup dan sebesar Sabina. Tante Lina dan Om Gani pun ada disitu. Mereka semua menyiapkan meja untuk tea time bersama Sabina.

“Sabina sayang, Tante sudah menyiapkan kue-kue ini untukmu.”

Sabina tertawa bahagia ketika dilihatnya meja kecil berwarna pink di hadapannya sudah penuh dengan kue-kue dan biskuit-biskuit kesukaan Sabina. Ruangan itupun indah sekali, dengan balon warna warni dan bintang-bintang cantik yang berada rendah sekali, sepertinya Sabina bisa meraih bintang-bintang itu.

Dengan tak sabar Sabina pun berlari kecil menuju Tante Lina.

“BRAK!”

Suara bantingan pintu membangunkan Sabina dari hayalannya.

Ayah pun masuk. Mukanya merah padam seperti sedang marah besar. Matanya melotot menakutkan. Nafasnya terengah-engah dan berbunyi kencang. Darah mengalir dari lengannya, seperti ada luka tusukan disitu. Sabina takut sekali dan mulai menangis.

Diseretnya Sabina keluar kamar.

“Ampun, Ayah. Sabina minta maaf. Sabina janji tidak akan buat Ayah kesal. Ibu, tolong!” racau Sabina yang ketakutan ketika Ayah menyeret badannya ke ruang tengah.

Tapi Ayah tak peduli dengan tangisan Sabina. Malah tambah kesal. Ditamparnya Sabina dan dilemparnya badan Sabina ke tembok.

Sabina melayang sesaat di udara dan Boni terlepas dari pelukan Sabina. Sabina yang sangat ketakutan, kini sangat sedih sekali juga kehilangan Boni dari genggamannya.

Sesaat kemudian, Sabina merasakan kepalanya menyentuh permukaan tembok, sangat keras sekali sehingga membuat Sabina sakit kepala tak tertahankan ketika akhirnya tubuhnya jatuh ke lantai.

Kepalanya terasa dingin sekarang. Sabina tidak bisa mendengar apa-apa kecuali dengungan di kepalanya.

Sabina mencoba membuka mata, bisa dilihatnya tetangga-tetangga berhamburan masuk dan mencoba berbicara dengan Sabina. Tapi Sabina tidak bisa mendengar apa-apa.

Ayah terduduk di lantai. Ibu entah dimana.

Tiba-tiba ada Om Gani yang memeluk Sabina dan membawa tubuhnya ke mobil.

Sabina merasa aman dan kembali memejamkan matanya.

Dalam hayalannya, Tante Lina dan kue-kuenya masih menunggu Sabina di sana. Sabina pun berjalan ke arah Tante Lina, dengan Boni di sampingnya, menggenggam tangannya erat-erat.

Namun segalanya berubah menjadi cahaya yang sangat indah, ada suara-suara lembut memanggil Sabina.

“Jangan takut Sabina, teruslah berjalan. Kamu tidak akan merasakan sakit lagi.”

#30DWC #30DWCJilid25 #Day6

Categories: 30DWC

Tagged as:

dewimayangsari

Hello - I love writing random stuff from fiction to mental health to relationship to productivity to travel stories. Hope you can enjoy my writings! :)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: