Menu Home

Berani Melawan Ketakutan

Sifat yang paling saya benci dari diri saya adalah sifat takut.

Takut ketinggian, takut jatuh, takut gelap, takut sendiri, takut laut, takut nyetir, dan yang paling saya benci tapi paling susah diobati adalah takut menghadapi konflik.

Semua ketakutan satu persatu bisa saya hadapi, meski seringkali tidak sempurna, tapi saya sudah mencoba untuk melawan semua ketakutan saya, dan pada akhirnya saya berhasil menaklukan ketakutan-ketakutan saya itu.

Untuk menaklukan takut ketinggian dan takut jatuh, saya melatih diri untuk mendatangi tempat-tempat tertinggi di berbagai tempat dan melihat ke bawah. Tahukah kamu kalau dulu saya bahkan ketakutan untuk berjalan di lantai kaca di mall? Sekarang saya sudah tidak (terlalu) takut lagi untuk melangkahkan kaki di atas lantai kaca itu. Setidaknya saya tidak melipir menjauh kalau melihat lantai kaca di mall lagi.

Saya bahkan pernah coba paralayang loh! Meskipun sepanjang perjalanan yang sangat singkat itu (hanya beberapa menit), saya tidak berhenti teriak. Membuat diri agak malu ketika turun dan melihat ada anak kecil yang baru meluncur juga dan menertawakan saya dan teriakan-teriakan saya.

Takut gelap dan takut sendiri pun sudah bisa ditaklukan dengan latihan tidur dengan lampu gelap dan tinggal sendiri. Awal-awal saya harus terus menyalakan tv atau telepon genggam semalaman agar tidak merasa sendiri, dan lampu kamar pun harus menyala semalaman agar saya tidak terkaget-kaget dan ketakutan ketika bangun tidur. Tapi sekarang, saya malah tidak nyaman kalau berusaha tidur di kamar yang terlalu terang atau berisik.

Kalau untuk takut laut, sesungguhnya sampai sekarang belum benar-benar terobati. Saya sudah seringkali mencoba snorkeling, berenang di tengah laut, sampai dengan freediving, tetap saja saya sangat cemas kalau melihat ke kedalaman laut. Kecuali kalau menonton teman saya freediving ya, sangat cantik sekali dan menenangkan untuk melihat dia ‘berdansa’ sementara terus menyelam ke kedalaman, sementara saya menonton dari permukaan, pegangan ke pelampung. Sampai lupa kalau saya suka cemas kalau membayangkan makhluk apa yang bisa tiba-tiba muncul dari kedalaman air laut. Membayangkannya saja masih seram!

Takut menyetir pun sudah berhasil ditaklukan dengan cara yang ternyata sangat mudah, murah dan cepat! Yaitu, menyewa jasa sekolah menyetir. Komentar pelatihnya waktu itu “ini sih ga perlu pelatih tapi psikolog biar berani!”, tanpa dia tahu keberadaan dia di mobil itu saja sudah membuat saya berani. Pelatih itulah psikolog saya!

Tapi, yang masih belum bisa saya taklukan adalah ketakutan akan konflik.

Mungkin karena waktu kecil saya dibesarkan di rumah yang sering terjadi konflik, saya jadi sangat takut dan panik kalau ada potensi konflik di hidup saya setelah dewasa. Seringkali saya menjadi pasif dan memendam rasa kesal, marah, sedih, kecewa, karena saya terlalu takut untuk mengungkapkan pikiran saya, takut pernyataan saya akan berkembang menjadi suatu konflik.

Saya pun sudah mengambil pelatihan intensif untuk dapat berkomunikasi asertif dan berani mengungkapkan pikiran meskipun ada suatu potensi konflik. Saya ingin sekali untuk dapat melindungi diri saya sendiri ataupun orang lain agar tidak ditekan secara tidak wajar oleh pihak lain, apalagi dirugikan atau di-bully. Namun, ini sangat sulit sekali. Ketakutan ini membuat saya terus berlari dari satu potensi konflik ke potensi konflik lainnya, menghindari setiap rasa tidak nyaman dengan memfokuskan diri pada hal lainnya, padahal yang tidak nyaman itu masih saja terus berlangsung dan meninggalkan bibit-bibit bom yang bisa meledak kapan saja. Yang mana ketika bom itu meledak pun, bukannya menghadapi konflik itu, saya biasanya lebih memilih walk away, memutuskan komunikasi sama sekali dengan sumber dari kekesalan terus menerus saya.

Itu tidak benar, teman-teman. Saya tahu itu. Tapi saya terlalu takut untuk bertindak.

Di sisa 2020 yang tinggal beberapa bulan lagi ini cuma satu harapan saya, yaitu agar menjadi pribadi yang lebih berani untuk asertif, speak up kalau ada ketidakadilan atau hal-hal yang membuat tidak nyaman. Meskipun itu berpotensi menimbulkan konflik.

Stop running. Start staying (and fighting).

PS: Sebagai referensi, ada empat jenis komunikasi yang diajarkan pelatihan intensif saya itu, yaitu: asertif, agresif, pasif dan pasif-agresif. Kurang lebih pengertiannya seperti ini (apabila ada ahli yang mau koreksi atau menambahkan silahkan ya):
Asertif adalah gaya komunikasi yang terus terang tapi dengan objektif dan tanpa emosi. Kalau agresif adalah gaya komunikasi yang suka memaksakan pikirannya terhadap orang lain, sementara pasif adalah gaya komunikasi mengalah dan memendam seperti saya dulu (dan kurang lebih sekarang juga). Dan terakhir, pasif agresif adalah gaya komunikasi yang suka menyindir, memaksakan kehendak dengan cara-cara yang halus atau tidak langsung.

#30DWC #30DWCJilid25 #Day20

Categories: 30DWC

Tagged as:

dewimayangsari

Hello - I love writing random stuff from fiction to mental health to relationship to productivity to travel stories. Hope you can enjoy my writings! :)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: