Kupandangi mata bulat malaikat kecilku dari kejauhan. Rambut hitamnya tergerai indah dan melambai-lambai tertiup angin sore itu. Bibir mungilnya membentuk senyuman dan tawa lepas yang sungguh membuatku kecanduan. Sekali-kali dia meloncat kaget ketika tiba-tiba ombak kecil menyapa kedua kakinya..
Malaikat kecil itu bernama Rania. Belahan jiwaku, gadis kecilku tersayang.
Sesekali Ken mengangkat tubuh Rania tinggi-tinggi dan membuatnya tertawa terbahak-bahak. Ken pun membawa Rania di pelukannya dan membuatnya menantang ombak yang datang ke arah mereka. Gadis kecil itu tidak memperlihatkan ketakutan sama sekali.. Malah dia sangat bersemangat untuk menantang ombak yang lebih besar lagi.
“Papa, ayo kita ke tengah lagi!” Teriak Rania dengan antusias.
Hatiku terasa hangat sekali menatap pemandangan itu.
Sepertinya baru kemarin aku dan Ken menjemput Rania dari panti asuhan. Usianya baru tiga tahun, namun dari yang kudengar putri kecilku itu sudah mengalami berbagai hal yang seharusnya tidak pernah terjadi pada anak kecil dimanapun juga.
Kepalanya masih menunduk takut, malu-malu, segala rasa sepertinya tercampur aduk di dalam pikiran putri manisku itu. Masih sama seperti pertama kali aku bertemu dengannya beberapa minggu sebelumnya.
Aku dan Ken baru saja menikah. Kami tidak pernah berpikir untuk mengadopsi anak, atau bahkan langsung memiliki anak sendiri segera setelah menikah. Kami pikir toh usia kami masih sangat muda, masih banyak waktu untuk menikmati waktu berdua sebelum mengundang kehidupan lain dalam rumah tangga kami.
Namun, pada hari itu aku dan Ken sepakat untuk mengubah rencana kami.
Kami sengaja datang ke panti asuhan untuk membagikan paket mainan dan buku-buku edukasi untuk anak-anak di panti. Kami sangat bersemangat ketika pengelola panti memperbolehkan kami untuk membagikan paket itu langsung kepada anak-anak.
Sesungguhnya hari itu kami hanya berniat untuk bermain-main dengan anak-anak itu dan melihat keadaan mereka, bercengkarama dengan mereka, berharap mereka dapat merasakan kasih sayang dan kepedulian dari kami berdua. Namun segalanya berubah ketika aku melihat sesosok gadis kecil yang mengintip dari balik pintu.
Kulihat mata besarnya yang sangat indah namun memancarkan ketakutan yang sangat dalam. Rambut hitam bergelombangnya membingkai wajahnya yang sangat cantik meskipun sangat tirus dan pucat. Badan mungilnya pun terlihat sangat kurus sampai dapat kulihat lekukan tulang di dadanya. Kaos dalam robek dan lusuh membalut kulitnya, dipadukan dengan celana pendek yang sudah sangat kekecilan.
Hatiku jatuh cinta dan miris pada saat bersamaan.
Dari kejauhan dapat kulihat Ken pun memikirkan hal yang sama dan menganggukkan kepalanya.
Kami hampiri malaikat kecil itu.
“Hai sayang, namamu siapa?” tanyaku dengan selembut mungkin.
Rania hanya memandangiku wajahku saja tanpa henti.
Dari kejauhan kudengar Ibu pengelola panti memanggil-manggil namanya.
“Putri! Dimana kamu, Nak?”
Rania pun menoleh namun seketika berlari ke arahku, ketakutan. Tiba-tiba dia memeluk tubuhku dengan sangat kencang dan membenamkan wajahnya di dadaku.
Entah kenapa meskipun kaget anak yang baru kutemui ini tiba-tiba memelukku, seluruh sel di tubuhku seperti tahu, gadis kecil ini akan memerankan peranan penting dalam hidupku, dan tanpa berpikir panjang kupeluk malaikat kecil itu.
Kurasakan dadanya berdegup kencang, sangat ketakutan.
Apa yang terjadi padamu, Nak. Pikirku.
Ken pun mengusap punggung Rania dengan penuh rasa sayang dan protektif. Dia pun tahu, gadis kecil ini akan menjadi bagian spesial di hidup kami.
Ibu panti kemudian menjelaskan bahwa mereka baru dititipkan Rania, atau dikenal dengan nama Putri pada waktu itu, dari berbagai institusi perlindungan anak dan polisi yang mengantarnya. Kami pun dijelaskan bahwa Rania masih trauma atas perlakuan kejam dari orang tua dan kakak-kakaknya sendiri, dan beberapa hari yang lalu orang tua dan kakak-kakaknya terbunuh dalam suatu perang antar geng pengedar obat, meninggalkan si kecil Raniaku sebatang kara.
Aku hanya bisa tertegun mendengar cerita itu. Malaikat secantik itu pernah mengalami segala kekerasan yang bahkan tidak dapat kubayangkan, bagaimana orang-orang dewasa itu dapat tega melakukan itu kepadanya?
Air mataku pun tidak dapat berhenti menetes, hatiku sakit sekali mendengarnya.
Ken memelukku erat. Kami jadi mengerti kenapa Rania terlihat ketakutan dan kurus sekali. Bahkan setelah kami lihat baik-baik, tubuhnya pun masih biru-biru dari kekerasan yang diberikan keluarga kandungnya.
Ibu panti kemudian menjelaskan kekagetannya melihat Rania memelukku seerat tadi, sementara sudah dua hari dia dititipkan di panti, tidak seorang pun diizinkannya untuk mendekati, bahkan untuk sekedar menggantikan bajunya atau menyuapinya makan. Anak ini sangat trauma sekali.
Malam itu aku dan Ken berbicara panjang lebar. Hati kami tergerak untuk Rania, bukan hanya kasihan, dan bukan hanya bermaksud untuk beramal. Tapi entah kenapa aku dan Ken merasakan getaran-getaran yang sulit untuk diungkap dengan kata-kata, namun semua getaran itu berteriak dengan sangat kencang dan membuat kami yakin, Rania adalah bagian dari keluarga kecil kami.
Esok paginya Ken pun mengundang pengacara kenalan kami untuk mendiskusikan proses adopsi Rania yang ternyata tidak mudah. Banyak tahap yang harus dijalani, pemeriksaan yang harus dihadiri. Namun semua itu kami jalankan dengan penuh harap Rania dapat pulang ke rumah kami, rumahnya.
Aku pun setiap hari mengunjungi Rania di panti selama permohonan adopsi kami masih dalam proses. Malaikat kecilku bergidik setiap kali orang memanggilnya Putri. Sepertinya bahkan nama itu saja membuatnya trauma. Ken dan aku pun memutuskan untuk memanggil gadis kecil kami itu Rania.
Beberapa bulan kemudian, dengan sah dapat kuperkenalkan, Rania Prameswari Kurniawan, anakku.
Kutatap gadis manisku yang sudah hampir berusia tujuh tahun sekarang. Dengan riang kaki-kaki mungilnya berlari ke arahku. Mata besarnya masih terlihat indah seperti dulu, namun memancarkan keriangan dan kecerdasan gadis kecil yang baru saja memasuki sekolah dasar itu. Rambut hitam lebatnya terlihat lebih indah lagi diterpa angin di pantai. Tubuh mungilnya sekarang terlihat sangat sehat dan menggemaskan dibalut dress princess favoritnya. Bahkan di pantai pun si kecil Rania tetap ingin mengenakan dress panjang yang membuatnya seperti karakter cantik dalam film anak-anak.
Awalnya tidak mudah, namun dengan berbagai terapi dengan seorang psikiater anak, serta kesabaran kami dan keluarga besar dalam menyembuhkan luka hati malaikat kecilku itu, berangsur-angsur Rania membaik dan menunjukkan perkembangan yang positif. Hingga akhirnya dia dapat menjadi gadis kecil yang percaya diri, sangat cerdas dan sangat penyayang. Rumah kecil kami menjadi semakin hangat dan penuh tawa dengan hadirnya Rania.
“Mama!” Teriak Rania sambil terus berlari dan membuka lengannya lebar-lebar untuk memelukku.
Kusambut pelukan gadis kesayanganku itu dan menciuminya tanpa henti.
“Terima kasih telah hadir dalam kehidupan kami, malaikat kecilku.” Lirihku dalam hati.
#30DWC #30DWCJilid25 #Day15
Categories: 30DWC
dewimayangsari
Hello - I love writing random stuff from fiction to mental health to relationship to productivity to travel stories. Hope you can enjoy my writings! :)
Leave a Reply